Senin, 28 September 2009

The Effect Of Sweeteners And Milk Type On The Rheological Properties Of Reduced Calorie Salep Drink.

1. Pendahuluan
Minuman saleb adalah sebuah minuman susu tradisional yang mana secara umum dikonsumsi selama musim dingin di Turki. Ramuan minuman salep yang utama adalah susu, gula dan salep powder yang mana diperoleh dari akar umbi bunga anggrek liar. Minuman disiapkan dengan mendidih gula dan salep powder dalam susu dan biasanya yang disiapkan dengan kayu manis diteteskan dibagian atas. Minuman salep biasanya buatan sendiri seperti halnya kue kering kecil yang ada ditoko pada musim dingin. Minuman salep dipercaya untuk menyembuhkan batuk dan menghilangkan rasa dingin. Ada juga beberapa studi yang menyatakan minuman salep juga digunakan untuk meringankan diarrhea dari bayi pada saat musim panas dan anak seperti halnya diarrhea kronis pada orang dewasa.

Salep powder juga utama ramuan tipe Kahramanmaras es krim dan tidak hanya mengerjakan itu juga memberi konsistensi untuk produk tetapi juga meningkatkan bau dan aroma. Unsur yang paling utama dari salep powder alami adalah glucomannan yang bertindak sebagai alat penstabil dan ketebalan dalam produk. Glucomannan adalah serat pangan oleh sebab itu membantu pengurangan tingkat kolestrol tubuh oleh kantong empedu yang menggarami dalam usus.

Sifat rheologi makanan cair merupakan faktor sangat penting yang mempengaruhi pilihan konsumen. Sebagai tambahan, diketahui bahwa ada suatu hubungan erat antara rheologi dan sifat sensori dari berbagai macam makanan. Sebagai contoh, boza atau coklat panas dengan tidak cukup konsistensi akan hasil umumnya dalam mengakibatkan keluhan konsumen.

2. Materi dan Metode
Susu ( keseluruhan, rendah lemak dan skim), salep powder dan gula yang diperoleh dari pedagang eceran lokal di Kayseri, bahan pemanis (aspartame, saccharine dan cyclamate) dengan ramah disajikan oleh Perusahaan Inallar (Istanbul, Kalkun). Persiapan dari sampel 100 ml susu dipanaskan pada hot plate (Yelowline dasar MST, jerman) sampai 60°C. Kemudian 0.75 g salep powder dan 2.0 g gula atau jumlah masing-masing dari bahan pemanis menurut kemanisan mereka yang dibandingkan ke gula (0.011g aspartame, 0.005g saccharine, 0.065g cyclamate) disatukan ke dalam susu dan temperatur campuran diangkat ke 75°C dan dilakukan selama 15 menit. Kemudian sampel didinginkan sampai 25°C dalam kondisi-kondisi yang berkenaan dengan pengukuran rheologi. Contoh sampel dengan keseluruhan susu dan gula. Kontrol tekanan rheometer (Rheostress I, Thermo-Haake, Jerman) dengan konfigurasi suatu cone-plate yang digunakan untuk pengukuran rheologi dari sampel. Rheometer dilengkapi dengan water bath (Termo Haake K15, Negara Jerman) untuk memastikan pengukuran temperatur tetap pada 25°C. Sekitar 250 µl dari sampel ditempatkan pada plat rheometer dan yang dicukur range 1– 100 s-1. Total dari 30 poin-poin data direkam dalam range pengukuran. Memotong tekanan dan untuk sifat viskositas dari sampel sebagai fungsi yamg diperoleh dari dasar mencukur dan data manajer perangkat lunak yang digunakan untuk mengepas data untuk kekuatan model peraturan untuk memperoleh konsistensi dan indeks perilaku arus dari sampel.

Evaluasi sensori dari sampel dilakukan dengan 7 anggota panel yang mana asisten peneliti atau para siswa lulusan jurusan perencanaan pangan. Panel berpengalaman dengan evaluasi pangan pelatihan pendahuluan sebelum analisa nyata. Panelis yang diatur sampel oleh 7 point skala hedonik yang mana 1 menjadi yang terburuk dan 7 menjadi yang terbaik untuk rasa, konsistensi (rasa mulut), dan keseluruhan pilihan. Sampel didinginkan sampai 60°C sebagai persiapan sebelum diberikan pada panelis. Analisa statistik sampel dilaksanakan oleh windows didasarkan software SAS 8.0. Analisa perbedaan digunakan untuk penentuan efek penambahan bahan pemanis dan susu tipe pada rheologi dan sifat sensori sampel dan Duncan test digunakan untuk berbagai perbandingan.

3. Hasil dan Pembahasan
Sifat viskositas dari semua sampel dikurangi dengan peningkatan tingkat pemotongan tekanan yang menunjukkan bahwa minuman salep memperlihatkan perilaku pseudoplastik. Rata- rata hasil sensori dari sampel dalam kaitan dengan rasa, mulut, dan keseluruhan pilihan. Itu ditemukan sampel yang disiapkan dengan menerima saccharine
yang berhubungan dengan skore sensori yang paling tinggi antar bahan pemanis yang digunakan sampel salep, oleh karena itu bisa jadi diusulkan saccharine sebagai suatu bahan pemanis yang sesuai untuk kalori rendah pada persiapan salep. Itu juga ditentukan jenis susu (p< 0.05) yang mempengaruhi pada keragaman hidangan salep yang berhubungan dengan sensori. Panel yang berhubungan dengan sensori menilai sampel dengan susu tanpa lemak seperti paling buruk, bagaimanapun tidak ada perbedaan antara hasil sampel yang berhubungan dengan sensori dari gula dan saccharine. Pengurangan dari kalori dari sampel yang berisi susu rendah lemak dan pemanis yang mana serupa sifat sensori dengan keseluruhan susu dan gula yang digunakan sampel sekitar 32,32%.

4. Kesimpulan
Susu rendah lemak dan sakarin berpotensi digunakan untuk mengurangi kalori dalam saleb.

Senin, 13 April 2009

ANALISA NATRIUM BENZOAT PADA PRODUK SOFT DRINK

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Keberadaan bahan pengawet pada bahan makanan tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Pengawet merupakan bahan yang ditambahkan untuk mencegah atau menghambat terjadinya kerusakan atau pembusukan minuman atau makanan. Dengan penambahan pengawet tersebut, produk minuman diharapkan dapat terpelihara kesegarannya. Namun, produsen hendaknya tidak menambahkan dua jenis makanan itu sesuka hati, karena bahan pengawet ini akan jadi berbahaya jika dikonsumsi secara berlebihan.

Bahan pengawet benzoat banyak digunakan sebagai pengawet salah satunya digunakan pada minuman soft drink. Meski kandungan bahan pengawet tersebut umumnya tidak terlalu besar, akan tetapi jika dikonsumsi secara terus-menerus tentu akan berakumulasi dan menimbulkan efek terhadap kesehatan. Dampak lain dari bahan pengawet minuman adalah kanker, dikonsumsi secara berlebihan dapat timbul efek samping berupa edema (bengkak) yang dapat terjadi karena retensi atau tertahannya cairan di dalam tubuh. Bisa juga naiknya tekanan darah sebagai akibat bertambahnya volume plasma lantaran pengikatan air oleh natrium (Fadliwdt, 2007). Maka diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap pengawet benzoat pada minuman jenis soft drink.

1.2 Tinjauan Pustaka
Minuman ringan berkarbonasi atau di Indonesia dikenal dengan nama soft drink sejak seabad yang lalu telah menjadi minuman ringan paling populer di Amerika Serikat mengungguli minuman lainnya seperti kopi, teh dan jus. Demikian juga di Indonesia, popularitas minuman yang notabene “made in America” ini terus meningkat. Di setiap restoran, depot, warung bahkan pedagang kaki lima selalu menyediakan minuman berkarbonasi ini. Banyak merek telah kita kenal salah satunya karena promosinya yang gencar di media massa seperti Coca-Cola, Fanta, Sprite, Pepsi, 7-up dan sebagainya (Widodo, 2008).

Di Amerika Serikat istilah soft drink digunakan untuk membedakan minuman tersebut dari liquor (minuman beralkohol), sehingga minuman yang tidak beralkohol disebut soft drink. Dengan demikian soft drink dapat diperjual belikan dengan bebas. Jika di wilayah utara Amerika Serikat yang beriklim subtropis dan dingin minuman beralkohol menjadi minuman favorit, maka Amerika Serikat bagian selatan yang tropis dan panas soft drink yang populer.
Kita bisa mengindonesiakan soft drink sebagai minuman ringan, dengan asumsi bahwa benar minuman ini memang “ringan” status gizinya. Minuman ini, selain kadar gulanya yang tinggi, tidak memiliki zat gizi lain yang berarti. Kini, kita kenal berbagai jenis produk minuman ringan yang beredar di pasaran. Ada yang beraroma buah cola, ada yang berflavor buah jeruk, ada pula jenis flavor lain seperti rasa nanas, coffee cream, root beer sampai cream soda (Widodo, 2008).

Komposisi dari soft drink adalah1. Air :
1. Air: komponen utama soft drink.
2. CO2 : sama dengan gas buang pernafasan kita. Berguna untuk memperbaiki flavor minuman. Menghasilkan rasa masam yang enak dan rasa “krenyes-krenyes” dan “menggelitik” di kerongkongan.
3. Gula / pemanis :
- Soft drink reguler : sukrosa (gula tebu), sirup fruktosa atau HFCS : high fructose corn syrup.
- Soft drink diet : pemanis sintetis aspartam, sakarin atau siklamat. Di Amerika Serikat menggunakan pemanis sintetis mutakhir : sucralose dan acesulfame-K.
4. Kafein (terutama pada jenis cola dan coffee cream) : kadarnya cukup tinggi,
membantu seseorang tetap terjaga atau tidak mengantuk, jantung dapat berdegub kencang,
sehingga tidak direkomendasikan bagi mereka yang hipertensi, berpotensi serangan
jantung koroner atau stroke.
5. Zat pengawet : Umumnya soft drink diawetkan dengan sodium benzoat atau natrium benzoat, suatu bahan pengawet sintetis. Aman untuk bahan pangan namun ada batas maksimal yang harus diperhatikan.
6. Zat pewarna : Ditemukan pada beberapa jenis soft drink, tidak terdapat pada softdrink
jernih. Ada zat pewarna alamiah seperti karamel (pada soft drink cola) tetapi yang
banyak digunakan adalah zat pewarna sintetis seperti : karmoisin dan tartrazin.
7. Flavor buatan : seperti rasa jeruk, rasa strawberry, rasa nanas dan sebagainya,
merupakan flavor sintetik, bukan hasil ekstraksi buah-buahan, jadi jangan harapkan
mengandung vitamin dan mineral seperti yang ada pada buah-buahan.
(Widodo, 2008).
Benzoat (acidum benzoicum atau flores benzoes atau benzoic acid). Benzoat biasa diperdagangkan adalah garam natrium benzoat, dengan ciri-ciri berbentuk serbuk atau kristal putih, halus, sedikit berbau, berasa payau, dan pada pemanasan yang tinggi akan meleleh lalu terbakar (Sediadi, A dan Esti, 2000). Natrium benzoat merupakan zat tambahan (eksipien) yang digunakan sebagai pengawet. Produsen sediaan farmasi oral (yang dimakan) biasa menggunakannya. Natrium benzoat memiliki ambang batas penggunaan 600 mg/l (Anonim, 2006).

Benzoat merupakan unsur alami yang terdapat dalam beberapa tumbuhan. Dan sering digunakan sebagai anti bakteri atau anti jamur untuk mengawetkan makanan. Penambahan ini menghasilkan dalam penurunan kapasitas buffer diet, dan setelah itu akan meningkatkan keasaman dari urin (Mroz et al., 2000). Batas atas benzoat yang diijinkan dalam makanan 0,1% di Amerika Serikat, sedangkan untuk negara-negara lain berkisar antara 0,15-0,25%. Untuk negara-negara Eropa batas benzoat berkisar antara 0,015-0,5% (Ibekwe et al., 2007).

Sodium benzoat diproduksi dengan menetralisasi dari asam benzoat dengan sodium hidrosida. Dunia mulai memproduksi sodium benzoate tahun 1997 yang diperkirakan sekitar 55000-60000 ton. Produsen sodium benzoat terbesar adalah Netherlands, Estonia, Amerika Serikat, dan Cina. Walaupun tidak disosialisasikan asam benzoat agen yang efektif untuk antimikrobia untuk tujuan pengawetan, sodium benzoat lebih disukai dalam penggunaannya karena 200 kali lebih mudah larut dibandingkan asam benzoat. Sekitar 0,1% umumnya cukup untuk pengawetan pada produk yang telah dipersiapkan untuk diawetkan dan disesuaikan ke pH 4,5 atau dibawahnya. Pasar utama dari sodium benzoat adalah dalam pengawetan soft drink, minuman sirup fruktosa jagung yang tinggi, sodium benzoat jarang digunakan sebagai pengawet dalam acar, saus, dan jus buah. Sodium benzoat juga digunakan dalam pembuatan obat dengan tujuan pemeliharaan (batas atas 1,0% dalam larutan obat) dan mengobati cara hidup dalam perlakuan dari pasien dengan peredaran urea enzymopathies (Wibbertmann et al., 2000). Asam benzoat dan sodium benzoat atau yang dikenal dengan Natrium benzoat (C6H5COONa) secara luas dapat diterapkan sebagai bahan pengawet dalam sejumlah produk yang dikonsumsi oleh manusia (Ibekwe et al., 2007).


Pengukuran benzoat dapat menggunakan HPLC. Adapun keunggulan dari HPLC adalah
- HPLC dapat menangani senyawa-senyawa yang stabilitasnya terhadap suhu terbatas, begitu juga volatilitasnya bila tanpa menggunakan derivastisasi.
- HPLC mampu memisahkan senyawa yang sangat serupa dengan resolusi yang baik.
- Waktu pemisahan dengan HPLC biasanya singkat, sering hanya dalam waktu 5-10 menit, bahkan kadang-kadang kurang dari 5 menit untuk senyawa yang sederhana.
- HPLC dapat digunakan untuk analisis kuantitatif dengan baik dan dengan presisi yang tinggi, dengan presisi yang tinggi, dengan koefisien variasi dapat kurang dari 1%.
- HPLC merupakan teknik analisis yang peka
(Adnan, 1997).

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan kandungan benzoat pada minuman soft drink.

2. Bahan dan Metoda
2.1 Bahan dan Piranti
2.1.1 Bahan
Bahan yang digunakan adalah minuman soft drink merk ‘FANTA’ rasa Strawberry dan ‘AW’ rasa Sasaparila yang mengandung Na-benzoat yang diperoleh dari mini market di kawasan Semarang. Bahan kimia yang digunakan adalah larutan methanol 60%, akuades.
2.1.2 Alat
Piranti yang digunakan adalah berbagai piranti gelas, neraca analitis, kertas saring filter eluen dan sampel 0,45 dan 0,2 µm, dan HPLC-Shimadzu LC-10.

2.2 Metoda
2.2.1 Larutan standar
Menimbang Na-benzoat/asam benzoate sebanyak 100 mg dilarutkan dengan methanol 60% ke labu ukur 100 ml (Lar.A). Membuat seri konsentrasi dari larutan.A dengan konsentrasi 100, 200, 1000 ppm. Kemudian diinjeksikan kedalam HPLC.


2.2.2 Larutan sampel
Menyaring sampel dengan kertas saring ‘Cellulose Nitrate Membrane filter’ dengan ukuran 0.2µm. Menimbang 5ml sampel yang dilarutkan dengan methanol 60% kedalam labu ukur 50ml. kemudian larutan siap diinjeksikan kedalam HPLC.

2.2.3 Sifat Fisik HPLC
Kolom : C18
Eluen : - 5mM KH2PO4 + 5mM K2HPO4 (92) dan Methanol (8)
- KH2PO4 5mM dan K2HPO4 5mM (0,68gr KH2PO4 dan 0,87gr K2HPO4 diencerkan dengan akuabides sampai 1lt)
Dektektor : SPD-10AVP 225nM
Flow rate : 0,3 ml/menit
A press : 0 kgf/cm2
T. flow : 0,3mL/min

2.2.4 Analisa data
Untuk mengukur kadar benzoat dalam soft drink

3. HASIL
Hasil dari grafik dapat dapat dilihat bahwa larutan standart dengan konsentrasi 100 ppm memiliki nilai puncak yang tertinggi dibandingan dengan konsentrasi 200 dan 1000 ppm sehingga larutan standart 100 ppm digunakan sebagai perbandingan dalam menghitung kadar benzoatnya dalam sampel. Dari perhitungan kadar benzoat dalam sampel diperoleh konsentrasi pada sampel AW 19,8 ppm dan untuk sampel Fanta 19,2 ppm dan 19,8 ppm.

4. PEMBAHASAN
Mekanisme pemisahan yang terjadi didasarkan pada kompetensi antara fase gerak dan sampel berikatan dengan kolom. Zat yang keluar terlebih dahulu, adalah zat yang yang lebih polar daripada zat yang lainnya, sedangkan zat yang tertahan lebih lama dari kolom, merupakan zat yang lebih non polar. Semakin polar fase gerak, waktu tambat sampel semakin lambat dan semakin non polar fase gerak, sampel semakin cepat keluar.

Metode dan kondisi awal yang menjadi acuan pada percobaan ini adalah kolom C18, fase gerak merupakan campuran kalium asam phospat dan dikalium asam phospat (92) dan methanol (8), detektor UV 225 nm. Kondisi awal ini disesuaikan dengan alat yang tersedia agar dapat diterapkan pada analisis sampel. Untuk menentukan pajang gelombang analisis yang akan digunakan, dibuat spektrum serapan larutan standar asam benzoat, dengan konsetrasi 100, 200, 1000 ppm, pada panjang gelombang 200-300 nm. Panjang gelombang analisis yang dipilih adalah 225 nm, karena pada panjang gelombang tersebut, semua zat memberi puncak yang baik. Pemilihan pajang gelombang harus mempertimbangkan kadar zat pada sampel yang akan dianalisis (Hayun, 2004).

Dalam penelitian kali ini bahan yang digunakan adalah AW dan FANTA yang mana keduanya menggunakan Na benzoat dalam memperpanjang umur simpan produk mereka. Na benzoat merupakan nama dagang yang sering terdengar di pasaran, sedangkan sodium benzoat merupakan nama ilmiahnya. Penggunaan sodium benzoat sebagai pengawet karena sifatnya yang mudah larut dalam air sehingga banyak digunakan dalam kosmestik dan industri pangan (Hussain et al., 2008).

Minunan soft drink sebenarnya dikonsumsi untuk meningkatkan nilai gizi, bersifat menghilangkan rasa haus, mempunyai efek untuk menyembuhkan. Akan tetapi pada perkembangannya ternyata banyak sof drink yang menggunakan bahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan. Hal ini terlihat dari analisa benzoat dengan menggunakan HPLC yang mana diperoleh konsentrasi pada sampel AW 19,8 ppm dan untuk sampel Fanta 19,2 ppm dan 19,8 ppm. Dengan adanya bahan pengawet maka dapat menurunkan nilai gizi suatu produk. Umur simpan dari produk dijelaskan dengan tanggal kadarluasa produk yang masih dapat diterima secara organoleptik (Doughari et al., 2007).

5. KESIMPULAN
- Metoda Kromatogarfi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dapat digunakan untuk menetapkan kadar asam benzoat yang terdapat di dalam minuman ringan.
- Na atau sodium benzoate sering digunakan karena sifatnya mudah larut air.
- Umur simpan dari produk dapat diuji secara organoleptik.
6. DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. (1997). Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan. ANDI. Yogyakarta.

Anonim. (2006). Pengawet Di Dalam Minutan Isotonik. http://www.halalguide.info. Download tanggal 28 Mei 2008.

Doughari, J. H ; G. Alabi & A. M. Elmahmood. (2007). Effect Of Some Chemical Preservatives On The Shelf-Life Of Sobo Drink. Journal African of Microbiology Research. Vol.(2) pp. 037-041.

Hayun, Y. Harahap & C. N. Aziza. (2004). Penetapan Kadar Sakarin, Asam Benzoat, Asam Sorbat, Kofeina, Dan Aspartam Di Dalam Beberapa Minuman Ringan Bersoda Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. 1. No. 3. Pp 148-159.

Hussain, I ; A. Zeb ; I. Shakir & A. S. Shah. (2008). Combine Effect Of Potassium Sorbate And Sodium Benzoate on Individual And Blended Juices Of Apricot And Apple Fruits Grown In Azad Jammu and Kashmir. Journal Pakistan of Nutrition. 7(1). Pp.181-185.


Fadwilt, 2007. Menelisik minuman Isotonikhttp://blog.its.ac.id/fadliwdt/2007/08/20/menelisik-minuman-isotonik/. Download tanggal 28 Mei 2008.

Ibekwe ; S. Eberechukwu ; Uwakwe ; A. Amadikwa & Monanu, M. Okechukwu. (2007). Effect Of Oral Intake Of Sodium Benzoate On Some Haematological Parameters Of Wistar Albino Rats. Journal Scientific Research And Essay. Vol. 2.(1). Pp. 006-009.

Mroz, Z ; A. W. Jongbloed ; K. H. Partanen ; K. Vreman ; P. A. Kemme & J. Kogut. The Effects Of Calcium Benzoate In Diets With Or Without Organic Acids On Dietary Buffering Capacity, Apparent Digestibility, Retention Of Nutrients, And Manure Characteristics In Swine. Journal Of Animal Science. 78. Pp. 2622-2632.

Sediadi, A. dan Esti, 2000. Pengawetan dan Bahan kimia. http://ui.vlsm.org/bebas/v12/artikel/ pangan/PIWP/pengawetan.pdf. Download tanggal 28 Mei 2008.


Wibbertmann, A ; J. Kielhorn ; G. Koennecker ; I. Mangelsdorf, & C. Melber. (2000). Benzoic Acid And Sodium Benzoate. Fraunhofer Institute for Toxicology and Aerosol Research Hanover. Germany.

Widodo. (2008). Mengenal Minutan Ringan Berkarbonasi (Soft drink). http://www.untag-sby.ac.id/index.php?mod=berita&id=92. Download tanggal 28 Mei 2008.

PROBIOTIK DAN PREBIOTIK

1. PENDAHULUAN

1.1. Tinjauan Pustaka
Istilah pangan fungsional pertama kali diperkenankan di Jepang sekitar pertengahan tahun 1980 an dan mengacu pada pangan yang diproses dengan memiliki komposisi khusus yang mendukung fungsional sebagai tambahan terhadap gizi. Umumnya pangan fungsional dianggap sebagai bagian pangan yang memiliki fungsi diet, dan memiliki komponen biologi aktif yang berguna untuk meningkatkan kesehatan atau mengurangi resiko penyakit. Pangan fungsional termasuk dalam konsep pangan yang tidak hanya penting bagi kehidupan tetapi juga sebagai sumber mental dan fisik, mendukung pencegahan dan mengurangi faktor resiko sakit untuk beberapa penyakit atau penambahan terhadap fungsi fisiologis tertentu. Produk susu merupakan produk pangan fungsional yang paling besar (Toma & Pokrotnieks, 2006).

Pangan fungsional dan nutraceuticals mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Tetapi keduanya juga memiliki perbedaan walaupun tidak tergambar dengan jelas perbedaan tersebut. Umumnya pangan fungsional digambarkan sebagai produk yang serupa dengan makanan tradisional yang dikonsumsi untuk diet, seperti makanan ringan yang bergizi atau minuman berenergi. Sedangkan nutraceuticals digambarkan sebagai produk yang dijual dalam bentuk suplemen seperti pil atau bubuk dan sering juga diberitahukan aturan penggunaanya. Pangan atau bagian pangan memiliki keuntungan sebagai obat, untuk kesehatan, yang meliputi pencegahan dan perawatan terhadap penyakit. Dengan adanya aplikasi penambahan probiotik dan prebiotik dalam produk pangan maka produk ini dapat disebut sebagai pangan fungsional (Ilsakka, 2003).

Pangan fungsional meliputi pangan konvensional yang berisi unsur bioaktif (seperti serat pangan), pangan yang diperkaya dengan unsur bioaktif (seperti probiotik dan antioksidan), dan komposisi pangan yang disintesa dikenal dengan pangan tradisional (seperti prebiotik). Diantara komponen fungsional probiotik dan prebiotik, serat larut, asam lemak omega-3 polyunsaturated, konjugasi asam linoleat, antioksidan pada tanaman, vitamin dan mineral, beberapa protein, peptida, dan asam amino, seperti phospholipid sering disebut dengan pangan fungsional (Grajek et al., 2005).

Kemudian dengan adanya motivasi dari rasa keingintahuan tentang pengkulturan, karakteristik dan pemahaman mengenai mekanisme patogenitas dari organisme ini. Beberapa negara melakukan penelitian mikroorganisme yang pada puncaknya menemukan terapi antimikrobia, vaksin dan imunisasi. Banyak mikroorganisme yang dipertimbangkan sebagai probiotik yang digunakan untuk memelihara produk pangan tradisional dengan cara fermentasi, dan keberadaan makanan ini bermacam-macam angka mikroorganisme yang digunakannya, bersamaan dengan hasil akhir dari fermentasi produk dan metabolisme lainnya (Toole & Cooney, 2008).

Probiotik secara umum didefinisikan sebagai tempat makanan suplemen yang memberikan manfaat bagi induk hewan yang meningkatkan hubungan keseimbangan mikrobia dalam usus. Bakteri probiotik dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh melalui beberapa mekanisme molekular. Populasi bakteri pada saluran gastrointestinal manusia yang mendasari ekosistem yang sangat kompleks. Kebanyakan dari organisme ini yang memberi keuntungan (contohnya Bifidobacterium dan Lactobacillus), tetapi ada juga beberapa yang berbahaya (contohnya Salmonella spesies, Helicobacter pylori, Clostridium perfringes). Prebiotik merupakan komposisi pangan yang tidak dapat dicerna. Ini meliputi inulin, fructo-oligosakarida (FOS), galactooligosakarida, dan laktosa. FOS secara alami terjadi pada karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh manusia. FOS ini juga mendukung pertumbuhan bakteri Bifidobacteria. Secara umum proses pencernaan prebiotik memiliki karakteristik dengan adanya perubahan dari kepadatan populasi mikrobia (Çaglar et al., 2005).

Probiotik merupakan suatu produk yang berisi turunan utama dari mikroorganisme dengan angka yang cukup sehingga mempunyai kemampuan untuk mengubah angka dari pertumbuhan (formasi dari koloni) di dalam induknya yang menyebabkan saluran utamanya menjadi higenis. Sedangkan prebiotik merupakan karbohidrat yang tidak mudah dicerna, banyak dari karbohidrat ini memiliki rantai pendek dari monosakarida yang disebut oligosakarida. Meskipun beberapa oligosakarida dapat menambah keuntungan dari pertumbuhan organisme dalam usus dan berperan sebagai tempat persaingan bagi bakteri patogen. Prebiotik oligosakarida adalah fruktooligosakarida (FOS) dan mannanoligosakarida (MOS). FOS dapat ditemukan secara alami pada sereal jagung dan bawang. MOS diperoleh dari dinding sel yeast (Saccharomyces cerevisiae) dan yang digunakan sebagai bagian dari kontribusi makanan yang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki dalam pencernaan yang mengarah pada pemilihan (merangsang 1 atau sedikit jumlah organisme yang bermanfaat bagi tumbuhan) (Kassie et al., 2008). Fruktooligosakarida adalah rantai pendek-medium-panjang dari D fruktan. Rantai pendek dikenal sebagai oligofruktosa dan rantai medium-panjang dikenal sebagai inulin (Wahlqvist, 2002).

Makanan probiotik adalah makanan yang berisi kultur mikroorganisme baik sebagai hasil dari fermentasi atau yang secara sengaja ditambahkan dengan tujuan untuk memberikan keuntungan bagi inangnya seiring dengan meningkatnya keseimbangan mikrobia intestinal. Probiotik berasal dari kultur bakteri yang bermanfaat bagi kesehatan usus, bakteri ini juga dapat mencegah bakteri berbahaya penyebab penyakit. Sedangkan prebiotik merupakan komponen yang tidak dapat dicerna yang memberi keuntungan bagi inangnya sehingga dapat mendorong rangsangan untuk pertumbuhan dan atau aktivitas dari satu atau jumlah koloni bakteri terbatas yang dapat meningkatkan kesehatan bagi inangnya. Dengan kata lain prebiotik sebagai nutrien bagi bakteri yang meliputi karbohidrat dan serat pangan (seperti laktosa dalam laktosa intoleran) yang melindungi penyerapan dalam usus halus, mencapai usus besar ketika sebagian besar bakteri berkembang (Wahlqvist, 2002 ; Schrezenmeir & Vrese, 2001).

Probiotik secara sederhana digambarkan oleh mikrobia yang memberikan keuntungan kesehatan bagi inangnya melalui efeknya dalam saluran intestinal. Definisi ini pada awalnya digunakan pada pemberian pangan produk hewan. Pada gizi manusia didefinisikan sebagai tempat mikrobia dalam komposisi pangan dengan memberi efek kesehatan. Prebiotik didefinisikan sebagai komponen pangan yang tidak dapat dicerna yang berhubungan dengan keuntungan inangnya yang mendorong ke arah pertumbuhan dan atau aktivitas dari satu atau dalam jumlah terbatas dari bakteri dalam kolon. Modifikasi oleh komposisi prebiotik dari koloni mikroflora yang mengarah pada awal dominasi dari beberapa bakteri yang berperan untuk kesehatan (Roberfroid, 2000).

1.2. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui peranan dari probiotik dan prebiotik. Dan untuk mengetahui sumber-sumber yang berasal dari probiotik dan prebiotik.

2. SUMBER PROBIOTIK DAN PREBIOTIK

Dalam pembuatan kultur maka formulasinya direkomendasikan pada produk sebesar 106 bakteri probiotik per gram atau mililiter dari produk susu, tetapi melalui perhitungan terjadinya pada tiap tingkatan terutama pada akhir dari umur simpan. Probiotik dapat digambarkan dalam hal “probiotik kesehatan” (persiapan mikrobial) dan “probiotik lain” (pangan fungsional), probiotik disiapkan dalam bentuk produk dalam satu dari empat tahapan dasar yaitu:
- Seperti penambahan konsentrat kultur untuk makanan dan minuman (seperti jus buah).
- Permulaan inokulasi serat probiotik.
- Permulaan inokulasi susu-dasar pangan (produk susu seperti susu, minuman bersusu, yoghurt, minuman yoghurt, keju, kefir, biodrink).
- Konsentrat dan sel yang dikemas secara kering seperti suplemen diet (bukan produk susu, seperti serbuk, kapsul, dan tablet gelatin).
(Çaglar et al., 2005).

Lactobacilli adalah bakteri probiotik yang paling umum berhubungan dengan saluran gastrointestinal manusia, oleh karena itu bakteri ini memegang peran penting dalam eko psikologi dari micro biota secara oral. Berbagai spesies lactobacilli(L.paracasei, L. gasseri, dan L.fermentum yang secara luas ditemukan, L.plantarum, L. crispatus dan diisolasi L. rhamnosus).

Konsentrasi minimum dari bakteri probiotik sehingga memiliki efek yang efektif pada saat dikonsumsi adalah meminum 100 gr/hari bio yogurt yang berisi 106 CFU ml-1 tetapi ada yang merekomendasikan 108 CFU/gr untuk menganti kekurangan dari penurunan yang lewat melalui usus. Yogurt adalah contoh klasik dari pangan fungsional dengan probiotik yang disebut dengan bio yogurt, yang berisi sel bakteri hidup. Peraturan dari yogurt yang butuhkan berisi 2 x 106 bakteri hidup dalam 1 ml minuman dalam satu periode penyimpanan. Dalam sehari dosis mikroorganisme yang diperlukan sekitar 1 x 109 sel. Pada minuman fermentasi bakterinya berkisar 108-109 ml-1 dan terjadi pengurangan selama penyimpanan. Selain bentuk yogurt bakteri probiotik juga dapat diperoleh dalam bentuk kapsul atau tablet yang ditambahkan dalam makanan, yang berisi kultur bakteri. Probiotik juga tersedia saat persiapan pharmacopoeia seperti Linex 1,2 x 107, Mutaflor 2,5 x 109, Lactoseven 1 x 109, Jogurt kapsul 2 x 109 yang berisi sel bakteri pendinginan kering per tempatnya.

Ada beberapa urutan dalam menggolongkan komponen prebiotik, yaitu
- Prebiotik harus tidak dapat dihidrolisa maupun diserap dalam bagian saluran gastrointestinal.
- Substrat untuk aktivitas atau pertumbuhan dari satu atau jumlah yang terbatas dari koloni bakteri yang menguntungkan.
- Mampu mengubah koloni mikroflora kearah komposisi yang sehat.
- Berpengaruh pada luminal atau sistem yang menguntungkan yang memiliki efek kesehatan bagi inangnya (Wahlqvist, 2002.

Karakteristik utama dari prebiotik adalah tahan terhadap enzim pencernaan dalam usus manusia tetapi difermentasi oleh koloni mikroflora, dan bifidogenik dan efek dari pH rendah. Dengan efek ini prebiotik dapat menghalangi bakteri yang berpotensi sebagai patogen, terutama Clostridium dan untuk mencegah diare. Simbiotik dari kombinasi inulin ditambah oligofruktosa dengan L. plantarum ditambah B. bifidum dapat meningkatkan pertumbuhan dari bifidobacteria tetapi dihalangi oleh kemampuan bakteri patogen manusia dari Campylobacter jejuni, E. coli, dan Salmonella enteritidis secara invitro daripada pengujian karbohidrat lainnya. Dengan cara yang sama maka kombinasi trans-galactooligosaccharides ditambah dengan bifidobacteria akan melindungi tikus dari infeksi penyebab kematian dengan Salmonella enterica seroval typhimurium. Sedangkan pada probiotik terdiri dari kemampuan L.paracasei dan oligosakarida meningkatkan jumlah Lactobacillus spp, Bifidobacterium spp, total anaerob dan aerob (Vrese & Marteau, 2007).

Sumber pangan prebiotik meliputi bawang, bawang putih, pisang, asparagus, bawang bombai, dan Jerusalem artichokes. Sedangkan probiotik adalah produk susu fermentasi, kefir, yoghurt yang ditambah probiotik, produk kedelai fermentasi, tempe, suplemen, Bio-K+ (Pat, 2009).

3. PERAN DARI PROBIOTIK DAN PREBIOTIK

Sejumlah keuntungan yang diberikan dari penggunaan bakteri probiotik, antara lain yaitu:
- Meningkatkan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit yang mudah menular.
- Mengurangi laktosa intoleran.
- Pencegahan penyakit usus, diare, radang lambung, infeksi vaginal dan urogenital.
- Mengurangi tekanan darah dan mengatur hipertensi, konsentrasi serum kolestrol.
- Mengurangi alergi, infeksi pernapasan.
- Memberi ketahanan untuk kemoterapi kanker dan mengurangi kerusakan kanker kolon.
- Menghalangi bakteri yang secara langsung ataupun tidak langsung mengkonversi pro karsinogen penyebab kanker.
- Mengubah motilitas koloni dan dan waktu perpindahannya.
(Çaglar et al., 2005 ; Wahlqvist, 2002 ; Schrezenmeir & Vrese, 2001).

Probiotik diduga dapat mencegah dan mengendalikan diare, mengurangi efek dari laktosa intoleran, menurunkan kolestrol, mencegah dan mengendalikan thrush (infeksi vagina) dan mencegah penyakit kanker usus, seperti merangsang sistem kekebalan (Wahlqvist, 2002). Keuntungan utama dari prebiotik adalah dapat mengurangi bakteri yang mempunyai potensi berbahaya pada usus. Ini dapat mengurangi resiko kondisi seperti diare dan rasa tidak enak badan yang berhubungan dengan usus. Kedua dapat meningkatkan motilitas dari usus dan menurunkan perpindahan waktu perbaikan kualitas stool dan pengaturan usus agar tampak sehat dengan meningkatkan massa stool. Perbaikan ini dapat memelihara kesehatan fungsi intestinal dan mengurangi kemungkinan konstipasi (Çaglar et al., 2005).

Mekanisme dan keberhasilan efek dari probiotik tergantung pada interaksi dengan mikroflora khususnya sel immunocompetent dari mukosa intestinal. Usus (atau yang berkaitan dengan sistem lymphoid, GALT) merupakan yang paling banyak secara iminologi organ dalam tubuh, dan kematangan dan pengembangan optimal dari sistem kekebalan setelah lahir yang tergantung pada pengembangan dan komposisi dari mikroflora dan demikian sebaliknya. Banyak kemampuan dari mikroorganisme probiotik yang mampu menghalangi pertumbuhan dan aktivitas yang berhubungan dengan lekatan untuk sel intestinal dari bakteri entereropathogenic (Salmonella, Shigella, enterotoxigenic E.coli atau Vibrio cholerae) yang mengatur mikroflora yang berhubungan dengan usus dan mempunyai imunostimulasi atau bersifat sebagai pengatur (Vrese & Marteau, 2007).

Konsumsi yang teratur dari probiotik (produk susu, seperti yoghurt) dapat menurunkan angka dari air ludah Streptococcus mutans dan lactobacilli, bagaimanapun juga tidak memiliki residu aktivitas antibakteri setelah semua aktivitas antibakteri tersebut habis. Pada susu dan keju yang mengandung probiotik dapat mengurangi rasa sakit gigi (Çaglar et al., 2005).

Pada percobaan dengan hewan uji dan manusia perhitungan bakteri dalam tumpukan sampel dan dalam sampel dari usus kecil yang diambil dari pasien ileostomized, yang telah diubah oleh probiotik. Metode ini juga memiliki kelemahan dan secara tidak langsung menggambarkan situasi riil dalam gastrointestinal dan mikrofloranya. Interaksi antara mikroorganisme probiotik dan GALT atau rangsangan sel mukosa dan memberi isyarat kecil pada masing-masing interaksi seperti halnya mekanisme imunomodulasi dan efek anti inflammatory probiotik yang secara penuh dipahami dengan menggunakan teknik modern seperti molekular biologi yang dapat mendorong pengetahuan tentang probiotik, sistem kekebalan, dan kesehatan (Vrese & Marteau, 2007).

Peran dari prebiotik untuk kesehatan manusia adalah
- Memperbaiki lemak dalam saluran gastrointestinal.
Karena β-konfigurasi dari C-2 anomeric dalam monomer fruktosa mereka, inulin tipe fruktan tahan untuk dicerna pada bagian atas dari saluran gastrointestinal.
- Memperbaiki efek pada penyerapan mineral.
Karbohidrat yang tak dapat larut (serat pangan) yang sebagian kecil melemahkan penyerapan usus halus dari mineral karena serat dapat mengikat atau melakukan aksi pemisahan. Bagaimanapun juga mineral ini mengikat atau memisahkan dan sebagai konsekuensinya tidak dapat diserap dalam usus halus yang mencapai kolon, pada saat serat dilepaskan dari matriks karbohidrat dan kemudian baru diserap oleh usus. Lebih dari itu pada konsentrasi tinggi dari rantai pendek asam karbosilik yang dihasilkan dari fermentasi koloni dari fasilitas karbohidrat yang tidak dapat dicerna dengan penyerapan koloni dari mineral, partikuler Ca+2 dan Mg+2. Dalam penambahan secara terpisah dari pengikatan atau pemisahan dari mineral, beberapa karbohidrat yang tidak dicerna (seperti inulin tipe fruktan) dapat meningkatkan penyerapan mineral dan keseimbangan karena dari suatu efek permulaan perpindahan air ke usus besar, ini dapat meningkatkan volume cairan yang dapat menyebabkan terpecahnya mineral.
- Memperbaiki efek pada metabolisme dari lipids.
Efek inulin tipe fruktan pada triglyceridemia telah dipelajari pada hewan dan manusia. Dalam tikus dapat menurunkan serum triglyceridemia (dalam pemberian pangan dan pada status berpuasa). Ada kemungkinan efek dari inulin tipe fruktan pada modulasi metabolisme triacylglycerol, yaitu pertama modifikasi konsentrasi hormon insulin atau glukosa, sebab modulasi diet dari lipogenesis adalah berhubungan dengan perubahan psikologi. Kedua yaitu produksi rantai pendek asam karbon pada usus besar, dengan hasil yang meningkat dua kali lipat lebih dalam portal konsentrasi dari kedua asam asetat dan propionat dalam oligofruktosa. Lebih dari itu propionat dapat menghalangi sintesis asam lemak, sedangkan asetat merupakan substrat lipogenik.
(Roberfroid, 2000).

4. KESIMPULAN

- Pangan fungsional pertama kali diperkenankan di Jepang pertengahan tahun 1980.
- Pangan fungsional dan nutraceuticals saling terkait satu dengan yang lainnya.
- Pangan fungsional meliputi pangan konvensional yang secara berisi unsur bioaktif.
- Probiotik berasal dari kultur bakteri yang bermanfaat bagi kesehatan usus.
- Prebiotik oligosakarida adalah fruktooligosakarida (FOS) dan mannanoligosakarida (MOS).
- Sumber pangan prebiotik meliputi bawang, bawang putih, pisang, asparagus, bawang bombai, dan Jerusalem artichokes.
- Sumber pangan probiotik adalah produk susu fermentasi, kefir, yoghurt yang ditambah probiotik, produk kedelai fermentasi, tempe, suplemen, Bio-K+.
- Konsumsi probiotik dan prebiotik dapat meningkatkan kesehatan manusia terutama yang berhubungan dengan gastrointestinal.

5. DAFTAR PUSTAKA

Çaglar, E., Kargul. B., & Tanboga. I. (2005). Bacteriotherapy and Probiotics Role on Oral Health. Review Article Blackwell Munksgaard, 11. Pp. 131-136.

Grajek, W., Olejnik. A., & Sip. A. (2005). Probiotics, Prebiotics and antioksidants as Functional Foods. Acta Biochimica Polonica. Vol. 52. No. 3. Pp. 665-671.

Ilsakka, K. (2003). Nutraceuticals and Functional Food Demand for Ingredients. www.biorefining.com.

Kassie, G. A. M. A., Jumaa. Y. M. F. A., & Jameel. Y. J. (2008). Effect of Probiotic (Aspergillus niger) and Prebiotic (Taraxacum officinale) on Blood Picture and Biochemical Properties of Broiler Chicks. Journal Internasional of Poultry Science, 7 (12). Pp. 1182-1184.

Pat. (2009). Prebiotics and Probiotics. http://www.aboutkidshealth.ca/News/Learning Education.aspx.

Roberfroid, M. B. (2000). Prebiotics and Probiotics : Are They Functional Food?1-3. The American Journal of Clinical Nutrition 71. Pp. 1682S-1687S.

Schrezenmeir, J., & Vrese. M. D. (2001). Probiotics, Prebiotics, and Synbiotics-Approaching a Definition1-3. The American Journal Clinical Nutrition 73. Pp. 361S-364S.

Toma, M. M., & Pokrotnieks. J. (2006). Probiotics as Functional Food : Microbiological and Medical Aspects. Acta Universitatis Latviensis, vol. 710, Biology. Pp. 117-129.

Toole, P. W. O., & Cooney. J. C. (2008). Probiotics Bacteria Influence The Composition and Function of The Intestinal Microbiota. Review Article. Ireland.

Vrese, M. D., & Marteau. P. R. (2007). Probiotics and Prebiotics : Effects on Diarrhea. The Journal of Nutrition 0022-3166/70. Pp. 803S-811S.

Wahlqvist, M. (2002). Prebiotics and Probiotics. http://www.healthyeatingclub.org.

Minggu, 05 April 2009

ISO 22000 dan Aplikasinya

1.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sistem-sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan ISO 22000 dapat membantu organisasi untuk mengurangi risiko-risiko yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Sistem-sistem manajemen ini juga tidak hanya memperhitungkan aturan dasar dalam membuat makanan dan praktek-praktek tempat kerja yang dapat diterima secara benar, tetapi juga meliputi rencana-rencana yang memungkinkan untuk terjadinya kesalahan dalam pengolahan sehingga dimungkinkan untuk penarikan kembali produk. Semua jenis praktek tersebut membentuk dasar suatu sistem manajemen keamanan pangan. Standar ini mencakup key elements untuk membentuk keamanan pangan, dimana salah satu key element tersebut adalah HACCP yang dirancang untuk digunakan pada semua segmen industri pangan mulai penanaman, pemanenan, pengolahan, pabrikasi, distribusi dan penjualan sampai pada penyiapan makanan untuk dikonsumsi. Program-program prasyarat seperti GMP yang diterapkan saat ini (current Good Manufacturing Practices) merupakan suatu dasar yang yang penting bagi keberhasilan pengembangan dan penerapan rencana HACCP. Sistem keamanan pangan yang didasarkan pada HACCP telah diterapkan dengan sukses pada pabrik pengolahan makanan, toko penjual makanan dan operasi jasa pelayanan makanan (Kurniawan, 2008).

Kebutuhan akan keamanan pangan mulai dari semua organisasi yang menghasilkan, membuat, menangani atau menyediakan makanan merupakan kebutuhan yang tertinggi. Lagipula, semua organisasi ini harus mengenali secara terus menerus untuk meningkatkan kebutuhan untuk mempertunjukkan dan menyediakan cukup bukti dari kemampuan mereka untuk mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya dari keamanan pangan dan banyak kondisi-kondisi yang berdampak pada keamanan pangan. Kebutuhan ini ditujukan untuk semua jenis dalam rantai makanan yang berkisar antara produsen ternak, produsen utama melalui pembuatan makanan, transpotasi dan operator gudang dan subkontraktor untuk eceran dan pelayanan distribusi makanan bersama-sama dengan organisasi lain seperti perlengkapan, bahan pengemasan, agen pembersih, ramuan dan bahan tambahan (Anonima, 2006).

Sistem HACCP ada tujuh prinsip :
-Analisa hazard yang meliputi penilaian dan identifikasi ancaman dan penentuan tentang hazard dan ukuran control hazard dan metoda dalam menetralkan ancaman hazard.
-Penentuan CCP (Critical Control Point).
-Penetapan titik kritis dari identifikasi CCP.
-Penentuan dan implementasi dari sebuah sistem dengan monitoring dari CCP.
-Penetapan dari aksi koreksi.
-Penetapan prosedur verifikasi dalam rangka mengkonfirmasikan jika sistem ini efektif dan bertindak sesuai rencana.
-Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan penerapannya.

2. APLIKASI ISO DAN TURUNAN ISO 22000

HACCP (Hazard Analysis Critical Central Point) atau ISO 22000 mengenai sistem manajemen keamanan pangan adalah proses sistem kontrol yang di desain untuk identifikasi dan mencegah mikrobia dan bahaya lainnya dalam produksi makanan dan keseluruhan rantai makanan. HACCP meliputi tahapan pendesainan untuk mencegah masalah sebelum hal ini terjadi dan untuk mengoreksi penyimpangan secara sistematis secara cepat dapat mendeteksi masalah yang ada. HACCP/ISO 22000 memungkinkan produsen, pengolah, distributor, eksportir dan lain sebagainya dari produk pangan untuk menggunakan sumber daya teknik secara efisien dan dalam cara biaya yang efektif dalam jaminan keamanan pangan (Anonima, 2005).

Susunan jaminan mutu paling banyak didasarkan pada prinsip manajemen mutu dari ISO 9000/ISO 22000 dan konsep HACCP, dalam penambahan beberapa penyusunan GAP (Good Agricultural Practice). Dasar standar mutu menyediakan perbaikan dari kejelasan proses, membantu untuk mendeteksi dan menghindari kegagalan sistematik dan sebuah kesempatan yang lebih baik untuk traceability. ISO 22000 adalah perbaruan dari standard ISO 9000 dan juga yang mengkombinasikan standar ISO 9000 dan konsep HACCP ke dalam satu standar. Bagaimanapun, perbedaan yang utama antara ISO 22000 dan ISO 9000 mengenai ruang lingkupnya. Pertama dengan tujuan keamanan pangan, sedangkan yang lainnya mengarahkan pada mutu pangan. Standar ISO 22000 dimaksud untuk menjadi bagian yang independen dan dapat digunakan untuk semua jenis organisasi di dalam penyedia rantai makanan. HACCP digunakan untuk industri pangan dan tujuan untuk menetapkan produksi yang baik, sanitasi dan manufaktur untuk menghasilkan pangan yang aman dan untuk pro aktif dan pencegahan lebih baik daripada menimbulkan reaksi. Konsep dari HACCP dapat diterapkan pada semua tahapan dari sistem pangan. Implementasi dari HACCP dan GMP kepada seluruh rantai yang termotivasi oleh faktor internal dan eksternal, seperti peningkatan efisiensi yang internal dan akses pasar sebagai faktor eksternal (Gellynck & Kühne, 2007).

ISO 22000 adalah standar internasional yang menggambarkan kebutuhan dari suatu sistem manajemen keamanan pangan yang mencakup semua organisasi dalam rantai makanan dari "farm to fork". Kombinasi standar umumnya mengetahui unsur-unsur kunci untuk menentukan keamanan pangan sepanjang rantai makanan, yang meliputi:
-Komunikasi interaktif.
-Sistem manajemen.
-Pengendalian dari bahaya keamanan pangan ke arah persyaratan penuh dari program dan perencanaan HACCP.
-Peningkatan yang berkelanjutan dan pembaharuan dari sistem manajemen keamanan pangan(Anonimb, 2005).

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) menjamin dari segi keamanannya sedangkan ISO 9001 lebih fokus dalam menjamin kualitas produk. Dengan mengaplikasikan HACCP dengan ISO 9001 quality management system menghasilkan sistem yang lebih efektif daripada hanya menggunakan HACCP atau ISO 9001 secara sendiri-sendiri. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan kepuasan konsumen dan memperbaiki keefektifan dalam pengorganisasiannya (Sparling et al., 2001 dalam Hernández et al, 2003). Hal tersebut tercakup apabila mengiplementasikan ISO 22000 dalam pelaksanaan proses. ISO 22000 lebih konsentrasi pada keamanan pangan dan prosedur instruksi bagaimana membangun sistem keamanan pangan tersebut. (Petro-Turza, 2003 dalam Hernández et al, 2003). Pada tahun 2001, dalam rangka untuk memudahkan implementasi HACCP dan ISO 9001 dalam organisasi pangan, maka organisasi intemasional dengan standardisasi (ISO) telah menerbitkan petunjuk tentang aplikasi dari ISO 9001:2000 untuk industri makanan dan minuman (ISO 15161:2000). Petunjuk ini dapat memberi perkiraan mengenai bagaimana ISO 9001 bisa diterapkan pada organisasi pangan dan yang dirancang untuk organisasi yang melibatkan dalam semua aspek industri makanan. ISO 15161:2000 meliputi permulaan, memprosesan dan pengemasan produk makanan dan minuman dan menjelaskan kemungkinan untuk menghubungkan komunikasi antara kedua system tersebut dan penggunaan dari komponen yang sama. Ini penting untuk mempertimbangkan, ISO 15161 yang bukan merupakan standar HACCP dan tidak bisa digunakan sebagai acuan pada sertifikasi dokumen, tetapi petunjuk ini yang diharapkan untuk menyediakan sistem manajemen yang bersih yang mendukung pada pengendalian HACCP untuk sistem keamanan pangan yang efektif, diketahui dibawah kerangka dari ISO 9000 tentang Sistem Manajemen Mutu. Pada sisi lain, ISO 22000 berkonsentrasi secara eksklusif pada keamanan pangan dan akan diinstruksikan pada produsen makanan bagaimana mereka dapat membangun sistem keamanan pangan secara mandiri.

2.1. Manfaat dan Kendala Penerapan ISO 22000
Penerapan ISO 22000 bermanfaat untuk membantu kita dalam mencapai beberapa sasaran, yang meliputi:
-Penetapan sistem manajemen keamanan pangan (FSMS).
o Untuk perencanaan dan implementasi FSMS dari organisasi kita.
o Untuk pengoperasian dan memelihara organisasi FSMS.
o Untuk memperbaharui dan meningkatkan organisasi FSMS.
-Untuk memastikan bahwa produk tidak menyebabkan efek kesehatan yang kurang baik.
-Untuk menunjukkan penyesuaian dengan kebutuhan keamanan eksternal.
o Untuk menujukkan penyesuaian dengan kebutuhan keamanan yang legal.
a. Untuk menunjukkan penyesuaian dengan kebutuhan regulasi.
b. Untuk menunjukkan penyesuaian dengan kebutuhan yang menurut hukum.
o Untuk menunjukkan penyesuaian kebutuhan konsumen.
- Untuk mengevaluasi keamanan pangan dari konsumen kita.
- Untuk menyediakan produk yang aman dan meningkatkan kepuasan pelanggan.
- Untuk produk pangan ekspor dan menembus pasar internasional.
- Untuk isu komunikasi keamanan keseluruh rantai makanan.
o Untuk komunikasi dengan organisasi pelanggan kita.
o Untuk komunikasi dengan organisasi penyalur kita.
o Untuk komunikasi kepada pihak-pihak lain yang relevan.
- Untuk memastikan bahwa kita mematuhi kebijakan keamanan pangan.
o Untuk menunjukkan penyesuaian untuk semua pihak yang berkepentingan.
(Anonimc, 2005).

Pada beberapa negara maju dan berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan sistem HACCP mengalami kendala dalam penerapannya terutama pada usaha kecil. Kendala yang dihadapi usaha kecil, seperti sumber keuangan, keahlian manajemen dan teknis. Sedangkan pada usaha katering hambatannya adalah pengetahuan, pelatihan, petinggi staf, variasi produk yang besar, variasi dalam permintaan dan beban kerja, dan banyaknya pekerja paruh waktu (Murat et al., 2007).

2.2. Turunan ISO 22000
- ISO/TS 22004, sistem manajemen keamanan pangan: mengarah kepada aplikasi dari ISO 22000:2005, yang dipublikasikan bulan November 2005, yang menyediakan bimbingan penting yang dapat membantu organisasi yang mencakup perusahaan sedang dan menengah yang ada diseluruh dunia.
- ISO/TS 22003, sistem manajemen keamanan pangan: merupakan kebutuhan dari asal badan audit dan sertifikasi dari sistem manajemen keamanan pangan, akan memberi bimbingan yang seimbang pada akreditasi (penerimaan) tentang ISO 22000 dengan badan sertifikasi dan menggambarkan aturan untuk pengauditan sistem manajemen keamanan pangan ketika menyesuaikan diri kepada standar ini. Dan akan diterbitkan dalam kwartal pertama tahun 2006.
- ISO 22005, penerapan treaceability dalam makanan ternak dan rantai makanan: prinsip umum dan bimbingan dari desain sistem dan pengembangan, akan segera dikeluarkan sebagai draf standar internasional.
(Anonimb, 2006).

2.2.a. ISO 22003 sistem manajemen keamanan pangan
ISO/TS 22003:2007 akan membantu untuk menciptakan kepercayaan dalam sertifikasi keseluruh dalam persediaan rantai makanan. ISO/TS 22003 merupakan dokumen yang terakhir dalam rangkaian ISO untuk sistem manajemen keamanan pangan, yang menyeimbangkan kelayakan keamanan pangan dalam prakteknya di seluruh dunia. Ini diluncurkan pada tahun 2005 dengan ISO 22000, yang didukung oleh suatu konsensus internasional antar tenaga ahli dari pemerintah dan industri (Anonimb, 2007).

2.2.b. ISO 2005 penerapan traceability dalam makanan ternak dan rantai makanan
Standarisasi ini memperbolehkan pengoperasian pada tiap tahapan dari rantai makanan untuk :
- Melacak alir bahan (makanan ternak, makanan, ramuan dan pengemasan mereka).
- Mengidentifikasi keperluan dokumentasi dan pelacakan dari masing-masing langkah dari produksi.
- Memastikan koordinasi yang cukup antara para pemeran yang dilibatkan secara berbeda.
- Membutuhkan masing-masing pihak yang diinformasikan langsung dari penyalur yang paling sedikit dan pelanggan dan lain sebagainya.

Sebuah sistem traceability memperbolehkan organisasi untuk membuat dokumen dan atau lokasi produk melalui tahapan dan dioperasikan yang dilibatkan dalam manufaktur, pemprosesan, distribusi, dan penanganan dari makanan ternak dan makanan, dari produk utama ke konsumen. Oleh sebab itu mendapat fasilitas untuk identifikasi penyebab dari tidak sesuaian dari produk, dan kemampuan untuk menggambarkan dan atau menginggat kembali itu dibutuhkan (Anonima, 2007).

2.3. Penerapan aplikasi ISO 22000
ISO 22000 dapat digunakan oleh:
a. Produsen utama:
- Kebun.
- Peternakan
- Perikanan
- Pabrik susu
b. Pengolah:
- Pengolahan ikan.
- Pengolahan daging.
- Pengolahan unggas.
- Pengolahan makanan ternak
c. Manufaktur:
- Pabrikan sup.
- Pabrikan makanan kecil.
- Pabrikan roti.
- Pabrikan gandum.
- Pembalut luka pabrikan.
- Pabrikan hidangan.
- Pabrikan bumbu.
- pabrikan pengemasan.
- Pabrikan makanan yang dibekukan.
- Pabrikan makanan kalengan.
- Pabrikan manisan.
- Pabrikan tambahan aturan makanan.
d. Penyedia layanan makanan:
- Toko bahan makanan.
- Rumah makan.
- Kafe.
- Rumah sakit.
- Hotel.
- Tempat peristirahatan.
- Perusahaan penerbangan.
- Pelayaran.
- Rumah tua.
- Rumah pengasuh anak.
e. Penyedia layanan lainnya:
- Penyedia layanan gudang.
- Penyedia layanan catering.
- Penyedia layanan logistic.
- Penyedia layanan transpotasi.
- Penyedia layanan distribusi.
- Penyedia layanan sanitasi.
- Penyedia layanan kebersihan.
f. Produk penyalur:
- Para penyalur perlengkapan.
- Para penyalur perkakas pertukangan.
- Para penyalur peralatan.
- Para penyalur bahan tambahan.
- Para penyalur ramuan.
- Para penyalur bahan baku.
- Para penyalur dari agen kebersihan.
- Para penyalur dari agen sanitasi.
- Para penyalur bahan pengemasan.
- Para penyalur dari bahan kontak dari makanan lain.
(Anonimc, 2005).

2.4. Contoh Implementasi ISO 22000
Timbulnya berbagai penyakit dan kontaminasi pada produk pangan yang berasal dari hewan. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan masyarakat yang ada di seluruh dunia, yang pada akibatnya berpengaruh kepada sikap konsumen. Oleh sebab itu konsumen menjadi ingin tahu informasi lebih banyak mengenai sumber produk yang mereka konsumsi. Karena adanya tekanan dari konsumen maka banyak perubahan yang terjadi di dalam produksi makanan, baik dari segi kualitas maupun keamanannya

Dalam penerapan untuk mendapatkan kualitas dan keamanan yang efektif, maka perusahaan mulai memperhatikan kepentingan konsumen. Lawton (2002) dalam Hernández et al (2003) menggambarkan prioritas dari konsumen yang diawali dengan membangun penilaian yang berkaitan dengan proses, produk dan hasil. Proses pengerjaan dikaitkan dengan karakteristik yang diinginkan konsumen.

Dalam kurun waktu 10 tahun belakang ini, telah banyak dijumpai kejadian yang berkaitan dengan keamanan pangan dan kualitas pangan salah satunya adalah dalam industri daging. Kejadian tersebut menyebabkan suatu industri harus dievaluasi kembali mengenai bagaimana supply chain daging dan tentang kerusakan yang diakibatkan penanganan saat berada di pasar.

Beberapa penelitian tentang industri daging di Eropa Barat telah dilakukan oleh banyak peneliti yang diantaranya adalah Fearne(1998); Viaene dan Verbeke (1998); Lobstein (2001); Yeung dan Morris (2001) dalam Goldsmith1, et al (2002) yang menggambarkan perubahan secara drastis yang disebabkan adanya ketakutan pada produk pangan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem. Kejadian Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) dan kembali munculnya penyakit kaki dan mulut (Foot and Mouth Disease / FMD) serta adanya kontaminasi biologi dan kimia pada produk makanan yang menggoncang sejumlah industri daging di Eropa Lobstein (2001) dalam Goldsmith1, et al (2002) menyarankan bahwa industri daging seharusnya tidak hanya menerima reaksi atas permasalahan ini tetapi juga seharusnya telah menyiapkan diri dalam menghadapi permasalahan keamanan pangan. Dailey (2001) dalam Goldsmith1, et al (2002) juga mengatakan bahwa perlu adanya suatu sistem yang bisa dipercaya dalam menjamin mutu yang dihasilkan untuk industri daging. Martin (2001) dalam Goldsmith1, et al (2002) juga menyampaikan, berdasarkan survei Food Marketing Institute di USA dikatakan bahwa kepercayaan konsumen di USA berkaitan mutu pangan mulai terkikis dari tingkat kepercayan 84% (tahun 1996) menurun menjadi 74% (tahun 2000). Berkaitan dengan penelitian tersebut itulah maka dikatakan bahwa ketakutan akan pangan dan tuntutan sosial dapat menjadi sumber yang berasal dari luar, yang bisa mendorong industri memulai proses perubahan fundamental seperti yang terjadi di Eropa.

Penilaian kehigenisan daging dengan menyediakan suatu pendekatan pemonitoran yang distandarisasi yang mana staf perusahaan dilatih, untuk tujuan mengukur ketepatan dari HACCP yang didasarkan pada proses pengendalian MSQA, pada langkah-langkah yang spesifik pada garis pengolahan. Tindakan korektif diperlukan untuk sistem pelaksanaan yang tidak cukup, sebagai contoh, melalui SOPs atau instruksi kerja jika dibutuhkan. Sistem MHA dapat membantu untuk memastikan keseragaman hasil pengecekan dari pengolahan industri daging ekspor di Australia, dan mencerminkan kebutuhan akan ketidakadaan toleransi dari kenyataan faecal dan pencemaran ingesta pada daging (Buttler et al., 2003).

3. KESIMPULAN

-Sistem-sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan ISO 22000 dapat membantu organisasi untuk mengurangi risiko-risiko yang berkaitan dengan makanan dan minuman.
-Sistem keamanan pangan yang didasarkan pada HACCP telah diterapkan dengan sukses pada pabrik pengolahan makanan, toko penjual makanan dan operasi jasa pelayanan makanan.
-Keamanan pangan dihubungkan dengan keadaan dan tingkat bahaya kerusakan pangan pada poin konsumsi.
-Susunan jaminan mutu paling banyak didasarkan pada prinsip manajemen mutu dari ISO 9000/ISO 22000 dan konsep HACCP.
-Dalam menerapkan ISO 22000 selain memperoleh keuntungan ternyata para pengusaha juga menemui kendala.
-Varian dari ISO 22000 adalah ISO 22003, 22004 dan 22005.
-ISO 22000 dapat diterapkan pada semua bidang.

4. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1994). Meat Safety Quality Assurance Sistem (MSQA). Second Edition. Canberra.
Anonim a. (2005). What Is HACCP Or ISO 22000 FSMS. http://www.lakshy.com. Download tanggal 7 Mei 2008.

Anonimb. (2005). ISO 22000 Food Safety. http://www.bsi-global.com/Resources. Download tanggal 7 Mei 2008.

Anonimc. (2005). ISO 22000 2005 In Plain English. http://www.iso.org. Download tanggal 7 Mei 2008.


Anonima. (2006). Food Safety ISO 22000 HACCP. AFAQ International. Saint Denis.

Anonimb. (2006). ISO 22000 For Safe Food Supply Chain. http://www.iso.org/iso /standards_development.html. Download tanggal 7 Mei 2008.

Anonima. (2007). New ISO Standar To Facilitate Traceability In Food Supply Chains. http://www.iso.org/iso/pressrelease.html. Download tanggal 7 Mei 2008.
Anonimb. (2007). ISO/TS 22003 Aims To Build Confidence In Certification Of Food Safety Management System. http://www.iso.org/iso/pressrelease.htm?refid=Ref1048. . Download tanggal 7 Mei 2008.

Anonimc. (2007). Canadian Food Safety And Quality Program Food Safety Initiative (FSI)-Implementation Element. http://www.ssfpa.net. Download tanggal 7 Mei 2008.

Buttler, J. R ; J. G. Murray & S. Tidswell. (2003). Quality Assurance And Meat Inspection In Australia. Journal Rev Sci Tech Int Epiz.22. pp. 697-712.

Gellynck, X & Kühne. B. (2007). Future Role Of Quality Assurance Schemes In The EU Agri-Business Sector. Journal Žemės Ūkio Mokslai. T. 14. Priedas. P. 165–170.

Goldsmith, P., A. Salvador, Dar Knipe, E. Kendall. (2002). Structural change or logical incrementalism? Turbulence in the global meat system. Chain and network science. Illinois.

Hernández, C ; U. Rickert &G. Schiefer. (2003). Quality And Safety Conditions For Customer Satisfaction On The Whole Meat Chain: The Organization Of Quality Communication System. Journal Efita. Pp. 575-580.


Kurniawan, T. H. (2008). Understanding And Implementing Food Safety Management System ISO 22000:2005. PT Phitagoras Global Duta. Jakarta.

Murat, B ; M. Yüksel & T. Çavuooflu. (2007). Difficulties And Barriers For The Implementing Of HACCP And Food Safety Systems In Food Businesses In Turkey. Journal Food Control 18.

Ruzevicius, J & J. Sauciuniene. (2006). Quality Models And System And Their Influence To The Business. Journal Vadyba/Management. Nr.2.11.

Surak, J. G. (2007). A Recipe For Safe Food: ISO 22000 And HACCP. www.asq.org. Download tanggal 7 Mei 2008.

Jumat, 03 April 2009

DEFINITION, MECHANISMS, FUNCTIONAL OF OMEGA-3 FATTY ACID

1. INTRODUCTION

Omega-3 fatty acids are being increasingly promoted as important dietary components for health and disease prevention. These fatty acids are naturally enriched in fatty fish like salmon and tuna and in fish-oil supplements. An increasing number of foods that are not traditional sources of omega-3 fatty acids, such as dairy and bakery products, are now being fortified with small amounts of these fatty acids. Fatty acids have many fates in the body, including β-oxidation for energy, storage in depot fat or incorporation into phospholipids, which form the major structural components of all cellular membranes Because humans do not have the enzymatic machinery required to synthesize omega-3 fatty acids, they must be obtained from the diet (termed “essential fatty acids”) (Suretter, 2008).


Omega-3 fatty acids are a family of fatty acids that contain two or more double bonds (“polyunsaturated”). One of which is located three carbon positions from the methyl terminus (“omega-3” or “n-3”) because the body is unable to synthesize in appreciable amounts omega-3 fatty acids that are longer than 14 carbons they are obtained primarily from dietary sources (Friedman & Moe, 2006).

Fish such as tuna, trout and salmon are especially rich sources of these fatty acids. Fish oil supplements are also a rich source as they typically contain 30%–50% omega-3 fatty acids by weight. Small quantities of omega-3 fatty acids are naturally present in meats like beef, pork and poultry. But also is plant sources such as flax and canola oil. The marine omega-3 fatty acids preparation we used contains a small amount of antioxidant vitamin E (equal to approximately 16 IU vitaminE/day), which theoretically may be expected to have an effect. (Surette, 2008 ; Goodfellow et al., 2009).

The phospholipid polyunsaturated fatty acids (PUFAs) hypothesis of depression is enlightening a promising path to discover the unsolved of depression. There are two main types of PUFAs in the human body. The omega–6 (n–6) series derived from cis-linoleic acid (LA, 18: 2) and the omega–3 (n–3) series derived from α-linolenic acid (ALA, 18: 3), n–3 and n–6 PUFAs are important constituents of all cell membranes. They are essential for survival of humans and other mammals, and cannot be synthesized in the body. The inability of vertebrates to synthesis linoleic acid (18:2ω6) and α-linolenic acid (18:3ω3) leads to essential requirement for these fatty acids (FAs) in diet (Pinsu, 2009 ; Dennis et al., 1993). There are three major types of omega 3 fatty acids including alpha-linolenic acid (ALA), eicosapentaenoic acid (EPA), and also docosahexaenoic acid (DHA) (Alshatwi & Alrefai, 2007). Omega-3 fatty acids such as eicosapentaenoic acid (EPA) and docosahexaenoic acid (DHA) are highly polyunsaturated and readily undergo oxidation (Sethi et al., 2002).

Omega-3 polyunsaturated fatty acids (PUFAs) are one of dietary substrates that have reported cardioprotective benefits. Omega-3 PUFAs generally exert their cardioprotective effects through changes in lipids and lipoproteins (Alshatwi & Alrefai, 2007). The structural role of long chain polyunsaturated fatty acids (LCPUFAs) and the functional correlates of specific Fas are being increasingly recognized. The LCPUFAs arachidonic acid (20:4w6) is an important membrane component and precursor to prostaglandins, leucotrienes, and epoxides (Dennis et al., 1993).

The aim of this study was to determine the effects of omega-3 fatty acid in human health. And known mechanisme from work omega-3 fatty acid.


2. MEKANISME OF OMEGA-3


The biological mechanisms to explain the role of n–3 fatty acids in depression are the regulation of neurotransmitters and signal transduction by PUFAs. The change in fatty acid concentration in the brain, induced by chronic deficiency in dietary n–3 fatty acids, could lead to an increase in serotonin 2 (5-HT2) and decrease in dopamine 2 receptor density in the frontal cortex. The upregulation of 5-HT2A/C receptors and down regulation of dopamine receptor are thought to play a role in the pathophysiology of depression. Furthermore, high cerebrospinal fluid concentration of 5-hydroxy-indoleacetic acid (5-HIAA), a metabolite of serotonin and an indicator of brain serotonin turnover, has been shown to be associated with high plasma concentration of n–3 PUFAs among healthy human.

The other possible biological mechanisms of the beneficial effects of n–3 PUFAs on mood and physical illness are regulation of the corticotropin-releasing factor, inhibition of protein kinase C, suppression of phosphatidylinositol-associated second messenger activity, modulation of heart rate variability via parasympathetic nervous system, increased dendritic arborization and synapse formation, promotion of neuroprotection and prevention of neuronal apoptosis, and synthesis of neuroprotectin D1 inhibit angiotensin-converting enzyme and 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase activities, and their competition with AA for enzymatic action and the resultant reduction in the inflammatory response (Pinsu, 2008).

Although we are able to convert dietary α-linolenic acid into eicosapentaenoic, docosapentaenoic and docosahexaenoic acids (which are found in fish and fish oils). this conversion is not efficient in people who consume a typical Western diet. Consequently, following the consumption of foods containing α-linolenic acid, our tissues are exposed to very little of the types of omega-3 fatty acids found in fish and fish oil (Surette, 2008).

The fundamental mechanism by which omega-3 FA appear to mitigate risk for CHD begins with the enrichment of membrane phospholipids with EPA and DHA. Once these long chain n-3 FA are resident in cell membranes, they may have at least four separate effects. First, because of their highly unsaturated nature, they may alter membrane properties. This can have the secondary effect of changing the microenvironment of transmembrane proteins (e.g., receptors) altering the manner in which they interact with their ligands. Altering membrane FA composition can also affect the ability of membrane-associated proteins to actually associate with the membrane and consequently to interact with other multi-protein complexes involved with cell signaling systems.

In addition, a variety of cell stressors (e.g., inflammatory mediators) interact with transmembrane receptors and subsequently initiate intracellular G-protein linked responses, one of which is the activation of phospholipase A2 (PLA2). This enzyme hydrolyzes long-chain omega-6 and omega-3 FA esterified to inner leaflet phospholipids, liberating them and making them available for conversion to a wide variety of eicosanoids via cyclo-oxygenase, lipoxygenase, and cytochrome P-450 monooxygenases.

These molecules powerfully influence cellular metabolism. PLA2-liberated omega-3 FA may directly modify the activity of ion channel themselves, resulting in altered resting membrane potentials. Finally, intracellular omega-3 FA are also able to serve as ligands for a variety of nuclear receptors (e.g., peroxisome proliferation activated receptors (PPARs), sterol receptor element binding protein (SREBP)-1c, retinoid X receptor, farnesol X receptor, and hepatocyte nuclear factor-α which impact inflammatory responses and lipid metabolism.

3. FUNCTIONAL OF OMEGA-3

Feeding humans fish oils has been shown to reduce oxygen-derived free radical formation in neutrophils and monocytes, and to enhance NO (Nitric Oxide) production by cultured human endothelial cells. Speculatively, it is also possible that a reduction in the formation of oxygen derived free radicals by endothelial cells and thus increased bioavailability of NO (Goodfellow et al., 2000). In addition, omega-3 FAs especially EPA and DHA contribute benefits through their antiarrhythmic, anti-inflammatory, antithrombotic effects. Moreover, EPA and DHA also improve vascular endothelial function and help lower blood pressure, platelet sensitivity, brain and retina (Alshatwi & Alrefai, 2007 ; Dennis et al., 1993).

Omega-3 fatty acids affect health and disease has led to a large body of evidence which suggests that these dietary lipids modulate numerous processes, including brain and visual development, inflammatory reactions, thrombosis, carcinogenesis. And also reduce mortality in non-transplanted patients. Omega-3 can reduce hypertension early after heart transplantation. Omega-3 in some reports also improve renal function in chronic progressive renal disease and kidney graft recipients (Holm et al., 2001).

This positive affect of omega-3 fatty acids was primarily associated with higher DHA levels. Previous work on omega-3 fatty acids has suggested that DHA has greater benefit than EPA for lowering blood pressure. The positive effect of higher omega-3 fatty acid levels on endothelial function raises the possibility that increased consumption of omega-3 fatty acids beginning early in life may favorably alter the risk of cardiovascular disease. Omega-3 is possible is possible improvements in endothelial function may be responsible for this reduced risk of heart disease in diabetic patients (Mori et al., 1999 ; Hu et al., 2003).

Presumably as a consequence of these cell membrane effects, omega-3 FA can diminish the activity of inflammatory cells and reduce levels of certain inflammatory mediators, which may ultimately result in reduced arterial plaque fragility. The decrease in serum triglycerides that is produced by intakes of 3-4 g/d of EPA+DHA appears to be secondary to increased hepatic beta-oxidation and decreased lipogenesis, which themselves are the result of modulation of the nuclear receptor actions (Calder et al., 2006).

4. CONCLUSION

- Highest content omega-3 be at fish and fish oil, flax and canola oil, and marine alga.
- The precise mechanisms by which omega-3 FA reduce risk for cardiac event.
- The clinical benefits related to consumption of fish and fish oil, such as antiarrhythmic, anti-inflammatory, antithrombotic effects, etc.

5. REFERENCES

Alshatwi, A. A & Alrefai. N. A. (2007). A Comparison of Serum Omega - 3 Fatty Acid Concentrations Between Patients with Coronary Heart Disease and Healthy Subjects. Pakistan Journal of Nutrition 6 (1): Pp. 72-74.

Calder, P. C. (2006). n-3 Polyunsaturated Fatty Acids, Inflammation, and Inflammatory Diseases. Journal of American Clinical Nutrition. 83. Pp. 1505S-1519S.

Dennis, R. H., Eileen. E. B., David.G. B., & Ricardo. D. U. (1993). Effects of Suplementation With ω3 Long-Chain Polyunsaturated Fatty Acids on Retinal and Cortical Development in Premature Infants1-3. Journal of The American Clinical Nutrition. 57. Pp. 807S-812S.

Friedman, A & Moe. S. (2006). Review of the Effects of Omega-3 Supplementation in Dialysis Patients. Journal Clinical American Society of Nephrology 1. Pp. 182-192.

Goodfellow, J., M. F. Bellamy., M.W.Ramsey., C. J. H. Jones & M. J. Lewis. (2000). Dietary Supplementation With Marine Omega-3 Fatty Acids Improve Systemic Large Artery Endothelial Function in Subjects With Hypercholesterolemia. Journal of The American College of Cardiology. Vol. 35., No. 2. Pp. 265-270.

Harris, W. S. (2007). Omega-3 Fatty Acids and Cardiovascular Disease: A Case for Omega-3 Index as a New Risk Factor. Journal Pharmacol Res, 55(3). Pp. 217-223.

Holm, T., Andreassen. A. K., Aukrust. P., Andersen. K., Geiran. O. R., Kjekshus. J., Simonsen. S., & Gullestad. L. (2001). Omega-3 Fatty Acids Improve Blood Pressure Control and Preserve Renal Function in Hypertensive Heart Transplant Recipients. Journal of European Heart, 22. Pp. 428-436.

Hu, F. B., Cho. E., Rexrode. K. M., Albert C. M., & Manson. J. E. (2003). Fish and Long-Chain Omega-3 Fatty Acid Intake and Risk of Coronary Heart Disease and Total Mortality in Diabetic Women. Circulation, 107. Pp. 1852-1857.

Mori, T. A., Bao. D.Q., Burke. V., Puddey. I. B & Beilin. L. J. (1999). Docosahexaenoic Acid But Not Eicosapentaenoic Acid Lowers Ambulatory Blood Pressure And Heart Rate In Humans. Journal Hypertension. 34. Pp.253-260.

Pinsu, K. (2008). Biological Mechanism of Antidepressant Effect of Omega–3 Fatty Acids: How Does Fish Oil Act as a ‘Mind-Body Interface’?. Neurosignals. Taiwan.

Sethi, S., Ziouzenkova. O., Ni. H., Wagner. D. D., Plutzky. J., & Mayadas. N.T. (2002). Oxidized Omega-3 Fatty Acids in Fish Oil Inhibit Leukocyte-Endothelial Interactions through Activation of PPARalpha. Journal Blood. Vol. 100. Number. 4. Pp. 1340-1346.

Surette, M. E. (2008). The Science Behind Dietary Omega-3 Fatty Acid. CMAJ. Canada.

Senin, 01 Desember 2008

ASAM LAKTAT DAN APLIKASINYA PRODUCTS OF PRIMARY METABOLISM

PRODUK DARI METABOLISM PRIMER
1. Pendahuluan
Contoh makanan fermentasi dari susu, sayuran, sereal dan daging juga pengawetan bahan bahan tertentu.

2. Industri Fermentasi Asam Laktat Secara Biologi dan Biokimia
Ada 2 jenis bakteri asam laktat yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri heterofermentatif dilibatkan dalam sebagian besar tipe fermentasi untuk makanan atau pemberian makanan hewan. Bakteri homofermentatif adalah penghasil industri asam laktat. Bakteri asam laktat, mampu untuk memproduksi asam sebagai produk metabolik yang lebih sensitif terhadap asam. Bakteri asam laktat sebagian besar kelompok dari gram positif, katalis-negatif, tangkai tidak berongga dan cocci. Pada umumnya, bakteri asam laktat menggunakan sumber karbon utama untuk pertumbuhan dan produksi asam.

3. Rantai Produksi & Produksi Secara Industrial
Pilihan organisme dapat diterapkan dan dipilih untuk produktivitas yang lebih tinggi, hal ini tergantung pada bahan mentahnya. Sintesis kimia dan produksi fermentatif asam laktat harus tercakup dengan masalah pemurnian untuk mendapat kualitas yang dibutuhkan untuk menemui standar.

4. Bahan Mentah
Berbagai macam material mono dan disakarida yang digunakan untuk pabrik asam laktat adalah glukosa, maltosa, sukrosa dan laktosa.

5. Proses Fermentasi
a. Proses Kalsium Laktat Klasik
Bahan mentah gula (glukosa dan sukrosa) dibuat pada konsentrasi gula 120 hingga 180 g/L. Penerapan konsentrasi gula yang lebih tinggi (260 g/L) akan dapat dikerjakan dengan mudah dalam fermentasi dengan dosis CaO tertentu untuk menyesuaikan pH hingga 6,3.

b. Prosedur Pemurnian dan Recovery
Kemurniaan tergantung pada penggunaan bahan mentah. Kemurnian lebih jauh dicapai dengan melalui larutan pengganti ion dan diperlakukan dengan hidrogen peroksida atau potasium permanganate. Metode lain dari pemurnian asam laktat adalah dengan menggunakan esterifikasi dengan metanol dan distilasi dengan ester.

6. Variasi Proses
a. Proses Amonium Laktat
Ammonium laktat terbentuk jika direaksikan dengan alkohol untuk menghasilkan ester. Metanol dan metal asetat yang tidak bereaksi dipisahkan dalam sebuah kolom rektifikasi dan metil laktat direaksikan dengan air untuk menghasilkan asam laktat murni. Hasil asam laktat dari keseluruhan proses sebesar 95% dimana 90 % didasarkan pada input gula.

7. Organisme Lain Selain Bakteri Asam Laktat
Sporolactobasillus inulinus dan Bacillus coagulans merupakan organisme lain penghasil asam laktat.

Senin, 10 November 2008

Fortifikasi Tepung

Pemerintah Kanada melalui CIDA sudah membantu fortifikasi tepung terigu yang dilaksanakan oleh UNICEF dengan mitra Indonesia yaitu Departemen Industri dan Perdagangan. Kontribusi ynag diberikan CIDA adalah sejumlah 2 juta dolar Kanada.
Pelaksanaannya adalah Februari 2001 s.d. Desember 2002. Fortifikasi adalah program memasukan unsur nutrisi dalam makanan atau bahan pokok untuk makanan. Tujuan utamanya fortifikasi adalah untuk mengembalikan zat gizi yang hilang pada bahan makanan selama dalam pengolahan bahan makanan. Fortifikasi tepung terigu merupakan cara yang sangat praktis dan hemat biaya untuk meningkatkan masukan kebutuhan zat besi dalam masyarakat. Lembaga-lembaga internasional seperti UNICEF, Bank Dunia, ADB, USAID, CIDA dan lain sebagainya. Terigu - adalah tepung/bubuk halus yang berasal dari biji gandum, dan digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mi dan roti. Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 323/MPP/Kep/11/ 2001 tentang Penerapan Secara Wajib SNI Tepung Terigu fortifikasi sebagai Bahan Makanan. Syarat fortifikasi SNI tepung terigu adalah kandungan zat besi (Fe), seng (Za), vitamin B1, vitamin B2, dan asam folat dengan ukuran tertentu. Bank Dunia menyatakan bahwa program fortifikasi adalah program yang paling 'cost effective' diantara berbagai program kesehatan lainnya. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar haemoglobin (Hb) berada dibawah kadar normal. Penyebab utamanya adalah kekurangan zat besi yang biasa disebut anemia gizi besi. Prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil berkisar anatara 50-60%, anak balita sekitar 45% dan lain-lain.
Pemerintah mencabut wajib SNI tepung terigu pada 24 Januari 2008. Pencabutan wajib SNI tepung terigu sebagai salah satu butir kebijakan pengendalian pangan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 02/M-IND/Per/ 1/2008. Kekurangan zat gizi mikro secara umum menyebabkan gangguan tumbuh kembang dan kecerdasan, daya tahan tubuh rendah, anemia, serta meningkatkan risiko kebutaan.
Biaya yang diperlukan tidak mahal, hanya 0,5 persen dari harga produk. SK Menkes tersebut juga ditetapkan bahwa setiap tepung terigu yang diproduksi, diimpor atau diedarkan di Indonesia harus mengandung fortifikan zat besi 60 ppm, seng 30 ppm, vitamin B1 (thiamine) 2,5 ppm, vitamin B2 (riboflavin) 4 ppm dan asam folat 2 ppm.